Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (LPKI) Riau menyebut, kasus semacam ini bukan yang pertama terjadi. Dalam setahun terakhir, mereka menerima sedikitnya 12 laporan serupa dari masyarakat yang mengaku kesulitan mendapatkan kejelasan soal tagihan akhir ketika menyerahkan unit kendaraan secara sukarela.
“Masalah klasiknya selalu sama — konsumen sudah menyerahkan mobil baik-baik, tapi tetap dibebani biaya tinggi dan tidak dijelaskan rinci. Padahal menurut POJK No. 22/POJK.07/2023, lembaga keuangan wajib memberikan rincian biaya secara transparan,” ujar Ketua LPKI Riau, Hendra Gunawan, Jumat (31/10).
OJK Diminta Awasi Lebih Ketat
Hendra juga meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pengawasan lebih ketat terhadap mekanisme penanganan restrukturisasi dan pelunasan di sektor pembiayaan. Ia menilai masih banyak perusahaan yang berlindung di balik istilah “kewenangan pusat” untuk menghindari tanggung jawab penjelasan kepada nasabah.
“Kalau semua dilempar ke pusat, lalu cabang tidak bisa menjelaskan apa pun, bagaimana nasabah mau mendapat kepastian hukum? Ini soal etika bisnis dan kepatuhan terhadap perlindungan konsumen,” tegasnya.
Konsumen: “Saya Cuma Minta Keadilan”
Sementara itu, Zakirman mengatakan dirinya hanya berharap ada itikad baik dan kejelasan perhitungan dari pihak SMS Finance.
“Saya bukan mau menghindar dari kewajiban. Saya hanya ingin tahu secara rinci kenapa nominalnya bisa sebesar itu, dan kenapa pengajuan keringanan saya ditolak dua kali tanpa alasan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa dirinya telah menyiapkan semua dokumen yang diminta, termasuk surat kuasa dari debitur asli dan bukti pembayaran angsuran selama satu tahun terakhir.
SMS Finance Belum Beri Penjelasan Tambahan
Hingga berita ini diturunkan, pihak SMS Finance belum memberikan klarifikasi tambahan atas permintaan konfirmasi lanjutan dari media. Beberapa pesan dan panggilan ke pihak cabang Arengka serta kantor pusat Jakarta belum direspons.
Transparansi Jadi Kunci
Pengamat keuangan dari Universitas Riau, Dr. Yuniarti Sembiring, mengatakan bahwa kasus ini menunjukkan lemahnya sistem komunikasi antara perusahaan pembiayaan dan konsumennya.
“Transparansi adalah inti dari kepercayaan. Jika nasabah menyerahkan unit secara sukarela, seharusnya ada mekanisme insentif atau pengurangan biaya. Jika tidak dijelaskan dengan baik, kepercayaan publik akan runtuh,” jelasnya.
Ia menilai, kasus seperti ini bisa menjadi momentum bagi regulator untuk memperkuat penerapan prinsip fair treatment (perlakuan adil) dalam industri pembiayaan di Indonesia.

